ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA SEBELUM 1990-an
Politik islam sebelum masa 1990-an mengalamai pasang
surut. Politik islam mengalami pasang
disetiap permulaan zaman dan disudahi dalam keadaan surut,yaitu pada masa
penjajahan belanda, penjajahan jepang, demokrasi parlementer, dan masa orde
baru. Ini berarti terkecuali pada masa demokrasi terpimpin (1957-1965). Pada
masa ini peran politik islam dimulai dan di sudahi dalam keadaan surut dan masa
revolusi (1945-1949). Yang mana islam berada pada keadaan pasang dan bisa
dikatakan bertahan secara konstan.
Wajah-wajah islam.
Pertama, kelompok yang aktif menolak
terhadap segala bentuk penyimpangan yang dianggap menyimpang dari garis
konstitusi(masyumi). Kedua, kelompok
yang bekerja sama dengan penguasa apapun yang terjadi (dikenal dengan pandangan
Al-Ghozali). NU, PSII, dan Perti pada masa demokrasi terpimpin mengambil sikap
ini. Ketiga, kelompok yang lebih
melihat islam sebagai ajaran masyarakat yang tidak perlu terlibat dalam
politik. Muhammadiyah pasca muktamar 1971 dan NU pasca muktamar 1984. Keempat, kelompok yang menolak sama
sekali kaitan antara islam dan politik. Mereka berpendapat islam tidak
mengajarkan umatnya untuk membentuk negara yang menjadi urusan dunia.
Pendekatan analisis politik islam. Islam
politik dan islam kultural. Islam legal-formal dan islam substansial.
Antagonisme dan akomodasi .
Pola hubungan pada masa orde baru. Menurut
abdul aziz thaba ada tiga pola hubungan. Pertama,
hubungan yang antagonistik (1966-1981). Kedua,
hubungan yang bersifat resiprokal-kritis (1982-1985). Hubungan dimana islam dan
negara saling mempelajari dan saling memahami posisi masing-masing. Ketiga, hubungan yang bersifat
akomodatif (1986-runtuhnya orde baru). Umat semakin memahami bahwa kebijakan
negara tidak akan menjauhkan mereka dari ajaran islam (sekularisasi). Rusli
karim membagi kedalam empat klasifikasi. Pertama,
1966-1972 proses mencari bentuk. Salah satu ciri utama adalah upaya umat islam
mencari pengakuan terhadap eksistensi diri sebagai jalan untuk mendukung
kehadiran orde baru. Kedua, 1973-1985
adalah era partai tunggal. Dimana wadah aspirasi islam sepenuhnya tertumpu pada
PPP yang biasa disebut sebagai era terpahit selama orde baru. Ketiga, 1986-1990 yakni era mengambang
atau transisi rekonsiliasi. Penamaan ekstrem ini berdasarkan kenyataan bahwa
pada fase ini berbaur antara konflik keras (kelanjutan dari reaksi dari asas
tunggal) dan kecenderungan transisional. Keempat,
1990-sebelum reformasi, yakni babak baru yang menjanjikan aneka harapan, yang
untuk mudahnya dinamakan “fase akomodatif”. Secara umum fase ini memiliki ciri
utama kuatnya peran intelektual dan menghindari konflik dengan pemerintah.
Dari kekalahan, islam politik mencari bentuk
artikulasi yang tepat. Kekalahan pertama,
penghapusan tujuh kata dalam piagam jakarta. Kekalahn kedua, pembubaran
masyumi. Kekalahan ketuga, asas tunggal pancasila. Akibat dari
kekalahan-kekalahan ini islam mencari
artikulasi yang tepat. Pertama, meninggalkan arena politik praktis. Sikap
ini diambil oleh mumuhammadiyah setelah muktamar ke 48 di ujung pandang tahun
1971, masyumi pada than 1967 natsir dan kawan-kawan mendirikan Dewan Dakwah
Islam Indonesia (DDII). Dan NU setelah muktamar di situbondo desember 1984.
Kedua, akomodatif terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Sikap seperti ini
diambil oleh tokoh-tokoh yang biasa disebut sebagai akomodasionis parmusi, PPP
dan NU. Ketiga, oposisi intra-parlementer. Sikap ini diambil oleh tokoh-tokoh
reformis dan fundamentalisdalam parmusi dan PPP serta NU. Keempat, radikal
konfrontatif ekstra parlementer. Sikap seperti ini diambil oleh organisasi
pelajar islam indonesia (PII) dan sebagian aktivis HMI yang menolak asas
tunggal. Kelima, kreatif intelektual. Sikap seperti ini diambil oleh generasi baru
intelektual islam yang sejak dasawarsa 1970-an mencoba menjembatani kesenjangan
politik antara islam dan negara.
referensi : kebangkitan politik kaum santri
Komentar
Posting Komentar
081249285161